Al-Qur’an juga mengabaikan perlindungan terhadap orang yang melakukan kerusakan di atas bumi karena kerusakan yang dia ciptakan merugikan kemaslahatan publik, sementara pembunuhan terhadap dirinya bersifat privat.
Di kalangan Fuqaha’ dan Ushuliyyin terjadi perbincangan tentang skala prioritas atau urut-urutan hierarkis menyangkut lima pokok dasar di atas (ad-dharuriyyat al-khams).
Misalnya, ada pertanyaan manakah yang harus diprioritaskan bila terjadi ta’arudh (pertentangan) antara hifzh ad-din dan hifzh an-nafs? Pertanyaan ini terjawab dengan pernyataan al-Qur’an:
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
Artinya, “Fitnah lebih besar dosanya daripada pembunuhan.” (QS. al-Baqarah: 217)
Ini berarti bahwa pembunuhan (hukuman mati, pen) bisa dilakukan dalam rangka menghindarkan diri dari fitnah, yaitu setiap perbuatan yang mengancam dan merugikan Islam dan kaum Muslimin. (Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsirul Munir, juz II, halaman 257).
Pertanyaan juga muncul ketika terjadi pertentangan antara hifzh an-nafs dengan hifzh an-nasl, mana yang dimenangkan?
Pertanyaan ini meski tidak bersifat mutlak terjawab dengan disyariatkannya hukuman rajam atas pelaku zina muhshan (yang pernah punya pasangan; pen).
Artinya pembunuhan dengan cara rajam yang dapat menciptakan efek jera dikenakan kepada pelaku zina muhshan.