Ancaman Hukuman Mati Ferdy Sambo atas Kasus Pembunuhan Brigadir J: HAM vs Pandangan Fiqih Ulama NU

23 Agustus 2022, 21:24 WIB
Ancaman Hukuman Mati untuk Ferdy Sambo: HAM vs Pandangan Fiqih Ulama NU /

 

CERDIK INDONESIA - Belakangan ini ramai di media sosial tentang kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yang terjadi pada 8 Juli 2022 lalu.

Peristiwa berdarah yang kemudian menjadi perhatian publik ini terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Sejumlah fakta terus terkuak seiring dengan kerja-kerja Polri.

Diketahui, sampai saat ini kasus kematian Brigadir J masih belum tuntas dan masih berlanjut dengan episode terbarunya.

Namun, kini kasus pembunuhan yang menewaskan Brigadir J ini mulai menemukan titik terang. Pasalnya sudah ditetapkan beberapa tersangka terkait kasus pembunuhan ini.

Setelah ada penetapan beberapa tersangka ternyata masih saja terdapat temuan-temuan baru terkait kasus tersebut.

Baca Juga: LINK LIVE STREAMING Persis Solo vs Madura United di BRI Liga 1: Nonton GRATIS Tinggal KLIK DISINI!

Diketahui terbaru ini, Irjen Pol Ferdy Sambo mantan Kadiv Propam Polri ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman mati.

Penyidik Bareskrim Polri menetapkan Ferdy Sambo sebagai tersangka yang berperan menyuruh melakukan dan menskenario peristiwa seolah-olah terjadi peristiwa tembak-menembak di rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Sawit.

Penyidik menerapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.

Lalu bagaimana pandangan fiqih ulama NU pada ancaman hukuman mati seperti ini? Apakah tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?

Baca Juga: Susunan Pemain Persib Bandung vs Bali United di BRI Liga 1: Kedua Tim Menurunkan Squad Terbaiknya!

Hukuman Mati dalam Pandangan Fiqih Ulama NU  

Ulama NU telah membahas ancaman hukuman mati dalam Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada 1-6 Agustus 2015.

Sebagaimana diketahui, Islam secara tegas mensyariatkan hukuman mati yang atas tindak kejahatan pembunuhan, dan tindak kejahatan berat tertentu. Hukuman mati atas kejahatan berat yang menimbulkan kerusakan besar di tengah masyarakat luas.

Beberapa negara ternyata menerapkan hukuman mati untuk tindakan tertentu yang membahayakan dengan berbagai tujuan. Namun, banyak pula negara yang menolaknya dengan dalih hukuman mati bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Hukuman mati bagi masyarakat dunia sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang tidak berujung dan tetap menjadi kontroversi.  

Merespons pertanyaan dalam Muktamar NU Ke-33: “Apakah hukuman mati tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?”, ulama yang tergabung dalam Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah menghasilkan keputusan sebagaimana berikut.

Islam sangat menghargai kemanusian. Dalam Islam, hak-hak manusia yang paling asasi disimpulkan dalam apa yang dikenal dengan istilah ad-dharuriyyat al-khams (lima prinsip pokok), yaitu hifzh ad-din (menjaga agama), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh an-nafs (menjaga jiwa), hifzh mal (menjaga harta), dan hifzh nasl/hifzh al-‘irdh (menjaga keturunan/martabat) Jadi hak hidup dan perlindungan terhadap jiwa manusia merupakan salah satu persoalan yang urgen dalam Islam.

Baca Juga: Soar Siagian: Ferdy Sambo Rela Jual Anak dan Istri!

Setiap upaya yang bertujuan melindungi keselamatan jiwa harus didukung; dan setiap tindakan yang mengarah pada terancamnya keselamatan jiwa harus dicegah. 

Alangkah kejam tindakan pidana pembunuhan sehingga di dalam al-Qur’an, orang yang membunuh satu jiwa saja digambarkan seolah-olah membunuh manusia seluruhnya.

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا  

Artinya, “Orang yang membunuh orang lain tanpa sebab pembunuhan atau berbuat kerusakan di bumi, maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia.” (Al-Maidah: 32)

Akan tetapi dalam waktu yang sama, al-Qur’an mengabaikan perlindungan terhadap keselamatan jiwa orang yang melakukan pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan, sehingga al-Qur’an membolehkan, bahkan mewajibkan membunuh orang tersebut sebagai hukuman pembalasan (qishash).

Hikmahnya dapat kita pahami dari pernyataan al-Qur’an berikut:

  وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ  

Artinya, “Dalam qishash terdapat kehidupan bagi kalian.” (Al-Baqarah: 179)

Bahwa di balik hukum qishash, pada hakikatnya, di situ ada kehidupan. Sebab, apabila orang tahu bahwa kalau membunuh akan dibunuh, ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut sehingga terjagalah kehidupan.  

Al-Qur’an juga mengabaikan perlindungan terhadap orang yang melakukan kerusakan di atas bumi karena kerusakan yang dia ciptakan merugikan kemaslahatan publik, sementara pembunuhan terhadap dirinya bersifat privat.  

Baca Juga: Persib Bandung Melawan Bali United di BRI Liga 1, Budiman: Kami Akan Tampil Lebih Fight dan Meraih Poin Penuh!

Di kalangan Fuqaha’ dan Ushuliyyin terjadi perbincangan tentang skala prioritas atau urut-urutan hierarkis menyangkut lima pokok dasar di atas (ad-dharuriyyat al-khams).

Misalnya, ada pertanyaan manakah yang harus diprioritaskan bila terjadi ta’arudh (pertentangan) antara hifzh ad-din dan hifzh an-nafs? Pertanyaan ini terjawab dengan pernyataan al-Qur’an:

   وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ   

Artinya, “Fitnah lebih besar dosanya daripada pembunuhan.” (QS. al-Baqarah: 217)  

Ini berarti bahwa pembunuhan (hukuman mati, pen) bisa dilakukan dalam rangka menghindarkan diri dari fitnah, yaitu setiap perbuatan yang mengancam dan merugikan Islam dan kaum Muslimin. (Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsirul Munir, juz II, halaman 257).  

Pertanyaan juga muncul ketika terjadi pertentangan antara hifzh an-nafs dengan hifzh an-nasl, mana yang dimenangkan?  

Pertanyaan ini meski tidak bersifat mutlak terjawab dengan disyariatkannya hukuman rajam atas pelaku zina muhshan (yang pernah punya pasangan; pen).

Artinya pembunuhan dengan cara rajam yang dapat menciptakan efek jera dikenakan kepada pelaku zina muhshan.  

Pertanyaannya, mengapa pembunuhan (hukuman mati, pen) semacam itu harus dilakukan?

Baca Juga: Praktik Judi pada Zaman Jahiliah: Masyarakat Memandangnya sebagai Ekspresi Kedermawanan, Ini Penjelasannya!

Jawabannya, karena kerugian dan mafsadah yang ditimbulkannya bersifat individual, sedangkan mafsadah yang timbul dari zina muhshan bersifat sosial serta bau busuknya diwariskan sampai anak cucu, dan itu bertentangan dengan karamah insaniyyah sebagai anugerah Allah paling besar kepada bani Adam, sebagaimana difirmankan: 

 وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ  

Artinya, “Dan benar-benar kami muliakan anak Adam.” (Al-Isra`: 70). 

Maka sesungguhnya kehidupan jiwa yang harus dilindungi adalah kehidupan yang memiliki karamah insaniyyah.  

Dari keterangan tersebut, pertanyaan di atas bisa dijawab, bahwa hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak hidup, merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam syariat Islam.

Dan ajaran Islam dalam hal ini telah hadir lebih seribu tahun sebelum Declaration of The Human Rights yang digelar PBB pada 10 Desember 1948. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa Islam menutup ruang untuk diterapkannya hukuman mati.  

Hukuman mati bisa diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang merusak harkat dan martabat manusia dengan beberapa syarat yang ketat, di antaranya dibuktikan dengan alat bukti yang kuat dan meyakinkan. Dan hal ini tidak dianggap bertentangan dengan HAM dan konsep Islam.  

Demikian pandangan ulama NU tentang hukuman mati yang dinilai tidak bertentangan dengan HAM.

Secara lebih lengkap pandangan ulama NU tentang hukuman mati dapat dibaca di buku Ahkamul Fuqaha Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama halaman 1113-1120.

Wallâhu a’lam.***

Editor: Yuan Ifdal Khoir

Sumber: islam.nu.or.id

Tags

Terkini

Terpopuler