Sambut Senin dengan Puisi Perjuangan Chairil Anwar 'Si Binatang Jalang'

30 November 2020, 04:33 WIB
Chairil Anwar, Pelopor Angkatan '45 dan Pelopor puisi modern Indonesia /kemdikbud

CerdikIndonesia – Chairil Anwar merupakan sastrawan terkemuka Indonesia yang dikenal dengan puisi “Aku”. Ia lahir di Medan tahun 1922 dan meninggal di tahun 1949 pada usia 26 tahun.

Baca Juga: Rizieq Dapat Surat Panggilan, Polisi: HRS Akan Diperiksa 1 Desember

“Si Binatang Jalang” merupakan julukan pria yang dibesarkan di Medan ini. Dia kemudian pindah ke Batavia dan mulai menulis sastranya. Bersama Asrul Sani dan H.B. Jassin, Chairil Anwar dinobatkan sebagai pelopor Angkatan ’45 dan pelopor puisi modern Indonesia.

Baca Juga: Buntut Swab Rizieq Shihab, 4 Direksi RS Ummi Bogor Akan Diperiksa Hari Ini

Berikut deretan puisi-puisi perjuangan Chairil Anwar:

1. Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun  lagi

Maret 1943

Baca Juga: Satgas Covid-19 Minta Rizieq Shihab Koperatif Dalam Penanggulangan Pandemi

2. Diponegoro

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembal

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

Baca Juga: 5 Sepilihan Sajak Usman Arrumy: Selain Puisi, Adakah Jalan Untuk Menujumu?

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.
Serbu.
Serang.
terjang

Februari 1943

Baca Juga: Kematian Maradona Diselidiki Otoritas Argentina, Ada Kejanggalan?

3. Persetujuan dengan Bung Karno

Ayo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
Dipanggang di atas apimu, digarami lautmu
Dari mulai 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api, Aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu, di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu, di uratku kapal-kapal kita betolak dan berlabuh

Baca Juga: Wagub DKI Jakarta Positif Covid-19, Begini Kondisinya

4. Di Mesjid

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya

Bersimpuh peluh diri yang tak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang

Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.

29 Mei 1943

Baca Juga: 5 Puisi Sapardi Djoko Damono Tentang Hujan

5. Prajurit Jaga Malam

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

***

 

 

 

 

Editor: Arjuna

Tags

Terkini

Terpopuler