Dia menjelaskan, tata cara manasik haji di kondisi Covid-19 ini menimbulkan pertanyaan.
Ketika Haji terjadi kerumunan, maka bagaimana tetap menjaga protokol kesehatan perlu dipastikan seperti penggunaan masker. Padahal dalam kondisi sedang berihram, hukum menutup wajah tidak diperbolehkan.
“Begitu juga untuk perempuan, dia itu syaratnya harus membuka penutup mukanya, dalam konteks seperti ini (pandemi Covid-19), dalam hal pelaksanaan aturan terkait manasik,” ujarnya dia.
Sementara itu, kata dia, fatwa tentang haji kedua adalah terkait rencana pendaftaran haji oleh haji muda. Idenya bagaimana agar dengan antrean haji yang semakin lama bisa diantisipasi dengan pendaftaran di usia dini. Sehingga meskipun antrean lama, seorang Muslim masih berkesempatan menjalankan ibadah haji.
“Mungkin ketika masih muda belum memiliki istithaah (kemampuan), sedangkan ketika mereka sudah mampu, umurnya sudah agak uzur. Ditambah lagi dengan problem semakin panjangnya antrean sehingga waktu berangkat kondisinya sudah sepuh. Bagaimana agar pendaftarannya dimulai sejak usia kecil?,” kata wakil sekjen bidang fatwa MUI periode 2015-2020 ini.
Dia menjelaskan, fatwa ketiga terkait Pembayaran Setoran Awal Haji dengan Utang dan Pembiayaan muncul karena banyaknya umat yang tidak memiliki dana likuid berlebih.
Dana likuid itu dibutuhkan untuk pendaftaran haji. Sementara masyarakat umumnya cenderung memiliki aset dalam bentuk tanah maupun sejenisnya.
“Boleh atau tidak menggunakan dana talangan haji. Ini diungkit kembali dana talangan haji. Kebijakan Kementerian Agama dalam hal ini tidak membolehkan, ini mustafti (pemohon pertanyaan fatwa) nya adalah BPKH,” ujar dia.