وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ حَقُّ الْجِوَارِ كَفَّ الْأَذَى فَقَطْ بَلْ احْتِمَالَ الْأَذَى فَإِنَّ الْجَارَ أَيْضاً قَدْ كَفَّ أَذَاهُ فَلَيْسَ فِيْ ذَلِكَ قَضَاءُ حَقٍّ وَلَا يَكْفِي احْتِمَالُ الْأَذَى بَلْ لَابُدَّ مِنَ الرِّفْقِ وَإِسْدَاءِ الْخَيْرِ وَالْمَعْرُوْفِ
Artinya, “Ketahuilah bahwa hak bertetangga tidak terbatas mencegah hal-hal yang menyakiti, namun juga menanggung penderitaannya, karena terkadang tetangga juga sudah berusaha mencegahnya, sehingga belum terpenuhi haknya. Tidak pula cukup menanggung penderitaan, namun juga harus bersikap ramah dan mendatangkan kebaikan”. (al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, juz II, hal.213).
Salah satu contoh sikap menjaga hak bertetangga adalah memulai menegurnya dengan ucapan salam, menjenguknya saat sakit, melayatnya saat tertimpa musibah, memberinya ucapan selamat saat mendapat keberuntungan, membantunya saat mengalami kesulitan, menutupi aibnya, mengampuni kesalahannya, berbagi, tidak mempersempit atau menutup jalan menuju rumahnya, tidak mengintipnya, tidak mencari-cari kesalahannya, menjaga kehormatan tetangga dan perempuan yang ada dalam naungannya, tidak mengganggu istirahatnya, tidak banyak kepo tentang urusannya dan perbuatan lain yang sekiranya dapat memastikan kenyamanan tetangga.
Wallahu'alam bissowab.***