Breaking News: Siaran Pers Komite Pembela Hak Konstitusi (KEPAL) saat Uji Materi Omnibus Law ke MK

- 19 November 2020, 16:33 WIB
Ilustrasi - Pemerintah menyiapkan sosialisasi dan konsultasi publik terkait aturan turunan UU Cipta Kerja. Pixabay/@ArtsyBeeKids
Ilustrasi - Pemerintah menyiapkan sosialisasi dan konsultasi publik terkait aturan turunan UU Cipta Kerja. Pixabay/@ArtsyBeeKids /

CerdikIndoensia - Komite Pembela Hak Konstitusi (KEPAL) melakukan Uji Materil terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi,Kamis, 19 November 2020. Berikut Siaran persnya:

Siaran Pers:

Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Sejak Proses Pembentukannya

Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) resmi disahkan dalam Rapat Paripurna ke-tujuh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 2020 dan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 2 November 2020 sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. UU CK merubah banyak materi pasal dari sejumlah Undang-Undang lintassektoral yang diantaranya juga mencakup sektor terkait ketenagakerjaan, pertanahan, perkebunan, pertanian, nelayan, pendidikan dan UMKM. Perubahan dan termasuk juga penambahan dan penghapusan atas pasal-pasal pada sejumlah Undang-undang asal untuk selanjutnya dikemas dalam satu materi Undang-Undang “spesial” bertajuk Cipta Kerja tersebut tak pelak dapat memantik masalah yang serius, mengingat perubahan-perubahan materi tersebut serta merta mempengaruhi muatan, landasan filosofis dan arah dari kebijakan dalam sektor-sektor terkait. Upaya pemerintah untuk mengintegrasikan sistem pertanian, perkebunan, perikanan, pangan, pertanahan, air hingga pendidikan ke dalam sistem pasar yang longgar dan sangat kental nuansa bisnis dan investasi sebagaimana dalam UU CK dikhawatirkan justru berdampak menghambat pemajuan sektor-sektor tersebut selaras dengan cita-cita pembangunan nasional yang didasarkan pada mandat UUD 1945, dan sebaliknya dapat semakin memundurkan semangat kedaulatan serta terlindunginya hak-hak warga negara di dalamnya.

Baca Juga: Hati-hati, Perda Covid-19 di DKI Sudah ditandatangani

UU Cipta Kerja merupakan produk yang dipaksa disahkan sehingga melanggar tata peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan Pemerintah Indonesia meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam prolegnas prioritas tahunan. Latar belakang yang membuat pemerintah meminta hal tersebut dikarenakan adanya desakan dari World Trade Organization (WTO) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya surat dari Pemerintah Indonesia yang dicatat di WTO dengan nomor WT/DS477/21/Add.13, WT/DS478/21/Add.13 pada 18 Februari 2020 yang pada pokoknya akan mengubah 4 (empat) Undang-Undang Nasional melalui Undang-Undang Cipta Kerja agar sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO). Empat Undang-Undang itu diantaranya: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan hewan.

Baca Juga: Viral, Jerinx SID Bersalah, Hukumannya Lebih dari 1 Tahun

Selain mengandung banyak masalah pada aspek materiil, bagi ormas-ormas tani, nelayan, pegiat pendidikan serta elemen masyarakat sipil lain yang aktif memperjuangkan hak-hak konstitusional, bahwa UU CK tidak cukup memiliki landasan hukum yang kuat karena tidak memenuhi syarat-syarat tahapan berdasarkan pembentukan peraturan perundangan. Dengan kata lain UU CK adalah inskonstitusional karena tidak memiliki dasar pembentukan hukum yang layak dan memadai dalam proses pembentukannya. Diantara penyimpangan yang nampak dalam proses pembentukan UU CK tersebut adalah tidak tercerminkannya keterbukaan dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan. Bahkan praktik buruk proses legislasi Undang-Undang ini tidak berhenti pada saat disahkan oleh DPR RI saja, namun pasca diundangkan juga masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal yang dikandungnya. Keadaan cacat formil yang melekat pada UU CK tersebut tak pelak dapat melahirkan rantai ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraannya.

Penolakan terhadap UU CK sedari awal sudah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk diantaranya kalangan petani, pekebun dan nelayan kecil yang tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya, padahal substansi dalam pasal-pasal tersebut juga sangat berkait erat dan dapat menimbulkan dampak sistemik bagi sektor dimana mereka bekerja dan menggantungkan masa depannya. Merespon hal itu, Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) menyatakan pandangan sebagai berikut:

Halaman:

Editor: Arjuna

Sumber: Whatsapp


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x