Menag Yaqut C. Qoumas Ingin Berikan Afirmasi Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia

25 Desember 2020, 16:59 WIB
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. /Instagram.com/@gusyaqut

CERDIK INDONESIA - Yaqut C. Qoumas Selaku Menteri Agama kabinet indonesia maju mengatakan pemerintah akan mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Hal ini dilakukan lantaran Yaqut tidak ingin ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halaman mereka karena perbedaan keyakinan.

Dikutip dari ANTARA di Jakarta, Kamis 24 Desember 2020, Yaqut menjelaskan bahwa mereka harus melindungi setiap warga negara Indonesia.

Baca Juga: Wow, Total 356 Ribu Kendaraan Tinggalkan Jakarta di Hari Natal

"Mereka warga negara yang harus dilindungi," kata Yaqut.

Gus Yaqut, sapaan Yaqut C. Qoumas, juga menyatakan bahwa Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan yang ada.

"Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi," ujarnya.

Pernyataan itu merespons permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra agar pemerintah mengafirmasi urusan minoritas.

Baca Juga: Sandiaga Uno Optimis Kemenparekraf Mampu Ciptakan Lapangan Kerja

Hal ini disampaikan secara daring pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa, 15 Desember 32020.

"Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi," kata Azyumardi.

Menurut Azyumardi, afirmasi itu kurang tampak diberikan pemerintah kepada kelompok minoritas. Misalnya, saat pemeluk agama minoritas ingin mendirikan tempat ibadah.

Azyumardi mengatakan bahwa para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram harus mengalami persekusi oleh kelompok Islam 'berjubah'.

Baca Juga: Jokowi Rombak Kabinet Indonesia Maju, Begini penilaian Para Pengamat Asing

Namun, persoalan intoleran itu, menurut Azyumardi, bukan muncul di kalangan umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia.

"Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah bikin gereja.Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun," kata Azyumardi.

Ia berpendapat bahwa akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.

"Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur begitu, ya (oleh Pemerintah). Bagaimana supaya adil," katanya.

Baca Juga: Bangga! UNESCO Tetapkan Angklung Sebagai Warisan Budaya Dunia

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.

Azyumardi mengatakan bahwa faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah juga ikut andil menyebabkan permasalahan tersebut.

"Itu saya kira perlu ditata ulang ini, ya. Bagaimana pihak yang berkuasa ini merasa kurang toleran. Jadi, masih perlu saya kira dilakukan afirmasilah dari tingkat nasional," kata Azyumardi.***

Editor: Arjuna

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler