Network
CerdikIndonesia - Pemerintah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite dan Solar masing-masing menjadi Rp 10.000 per liter dan Rp 6.800 per liter.
Pengamat ekonomi dari Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) Bhima Yudhistira menilai penyesuaian harga ini dilakukan dalam waktu yang tidak tepat. Menurut dia, masyarakat belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp. 10.000 per liter. Akibatnya, Indonesia dapat menghadapi risiko stagflasi, yaitu peningkatan inflasi yang signifikan dan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.
“BBM bukan hanya harga energi dan khususnya biaya transportasi untuk kendaraan pribadi yang meningkat, tetapi juga hampir ke semua sektor yang terdampak. Misalnya, harga bahan pangan akan naik secara bersamaan, Pelaku sektor pertanian mengeluhkan mahalnya biaya input produksi, terutama pupuk," Sabtu, 3 September 2022.
Bhima merinci inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada Agustus, yakni 8,55 persen year on year, yang akan lebih tinggi. Diperkirakan inflasi bahan pangan akan menyentuh dua digit atau di atas 10 persen per tahun pada September ini.
Sementara itu, inflasi umum diperkirakan mencapai level 7 hingga 7,5 persen pada akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga yang agresif.
"Konsumen seolah-olah akan jatuh di tangga berkali-kali. Pendapatan dari pandemi belum pulih, sekarang mereka dihadapkan pada kenaikan biaya hidup dan suku bunga pinjaman," lanjutnya.
Lebih lanjut Bima menambahkan, masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan akan mengurangi konsumsi barang lain.
Karena BBM merupakan kebutuhan pokok, kata dia, ketika harga naik, pengusaha di industri pakaian jadi, makanan dan minuman, serta logistik semua akan terkena dampaknya. Menurut dia, pelaku usaha dengan permintaan yang baru memasuki fase pemulihan juga akan menghadapi risiko PHK massal.
