Perbedaan Omnibus Law Cipta Kerja dengan UU Ketenagakarjaan, Berikut Penjelasannya

6 Oktober 2020, 14:17 WIB
ARMIN ABDUL JABBAR/"PR" BURUH dari berbagai elemen melakukan aksi unjukrasa di depan Balai Kota Bandung, Jalan Wastukencana, Selasa (6/10/2020). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan pengesahan UU Cipta Kerja oleh pemerintah pusat dan DPR RI pada Senin (5/10/2020). /arminabduljabbar/

CerdikIndonesia - Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR dan Pemerintah (Senin, 5/10/2020), ini dirancang agar menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional, namun justru menuai banyak kritik berbagai kalangan, khususnya kaum buruh.

 

Baca Juga: UU Ciptaker Bikin Upah Buruh Lebih Murah dari UMP, Begini Penjelasannya

 

Kaum buruh sudah lama menyuarakan penolakan dan perlawanan terhadap UU kontroversial yang menggantikan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.


 
Berikut CerdikIndonesia mencoba merangkum 6 hal yang menjadi perbedaan Omnibus Law Cipta Kerja  yang sedang ramai di perbincangankan publik dengan UU Ketenagakerjaan tahun 2003.

 

Baca Juga: UU Ciptaker Disahkan, Buruh Dibayar Lebih Rendah dan Sistem Upah Diganti

 

1.Upah minimum

Upah minimum pada Omnibuslaw akan menggunakan standar provinsi (UMP), padahal sebelumnya bisa diatur dengan standar kabupaten/kota (UMK).


2.Bonus

Dalam Omnibus law mengatur setiap perusahaan memberikan bonus atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai dengan masa kerjanya. Bonus tertinggi senilai lima kali upah bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih sebelumnya tidak dibahas pada UU Ketenagakerjaan.


3.Waktu Kerja

Pemerintah berencana memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ini paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.


4.Pengupahan pekerja yang berhalangan kerja

Pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tak lagi disebutkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja.  Sedangkan, aturan sebelumnya tetap membayar upah pekerja yang sakit sebesar 25-100 persen (tergantung lama sakit) dan yang tidak masuk kerja selama 1-3 hari karena menikah, melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.


5. Uang Pesangon dan Santunan Buruh

Omnibus Law Cipta Kerja menghapuskan aturan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena surat peringatan, peleburan/pergantian status kepemilikan perusahaan, PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit, pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.


Selain itu, Omnibus Law telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi ahli waris yang ditinggalkan.

 

Baca Juga: Ingat, Kemenkes Tetapkan Harga Tertinggi Swab Mandiri Rp900.000, Jangan Sampai Ada yang Lebih Mahal!

 


Padahal dalam UU sebelum mengatur perihal diatas, sebagai hak buruh selama bekerja di perusahaan.
 
6. Penambahan alasan Perusahaan boleh PHK pekerja

Omnibus Law Cipta Kerja menambah 5 poin tambahan alasan perusahaan boleh melakukan PHK, antara lain:

• Perusahaan melakukan efisiensi

• Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan

• Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang

• Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh

• Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan. ***

Editor: Safutra Rantona

Tags

Terkini

Terpopuler