4 Film yang Membahas G30S PKI, Potret Kelam Indonesia Pasca-kemerdekaan

30 September 2021, 06:05 WIB
Berikut sinopsis film Pengkhianatan G30S PKI yang bisa Anda baca, ada kisah pilu soal terbunuhnya 7 jenderal. /Instagram.com/@tvonenews/Instagram/@tvonenews

CERDIKINDONESIA - Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Meski sudah merdeka tak berarti kondisi Indonesia langsung membaik. Berbagai pergolakan muncul, salah satunya peristiwa G30S PKI.

G30S-PKI merupakan kepanjangan dari Gerakan 30 September-Partai Komunis Indonesia.

Peristiwa ini diangkat menjadi sebuah film berjudul Film Pengkhianatan G30SPKI. Film ini menggambarkan sejarah kelam masa lalu Indonesia. Dimana upaya kudeta sempat ada di Tanah Air.

Baca Juga: Sinopsis Film Pengkhianatan G30S PKI, Pembunuhan Keji Para Jenderal Pahlawan Revolusi

Baca Juga: Lirik, Arti, dan Makna Lagu Genjer-Genjer, yang Didentikkan dengan G30SPKI

Selain film tersebut, ada tiga film lainnya yang di dalamnya membahas tentang G30S PKI.

Berikut empat film yang menggambarkan tentang G30S PKI yang dirangkum dari berbagai sumber:

1. Film Pengkhianatan G30S PKI

Film yang diangkat dari kisah nyata ini diproduksi tahun 1984, disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer, diproduseri oleh G Dwipayana, dan dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa.

Film ini diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp 800 juta, angka yang besar untuk saat itu.

Film yang disponsori pemerintahan Orde Baru Soeharto ini dibuat berdasarkan versi resmi pemerintah kala itu dari peristiwa Gerakan 30 September atau G30S yang berupaya mengkudeta pemerintah tahun 1965.

Baca Juga: 6 Fakta Film Pengkhianatan G30S PKI, dari Film Termahal hingga Bagian Propaganda Soeharto

Berlatar belakang sebuah kudeta, film bersejarah tahun 1965 ini menggambarkan kekejaman PKI. Bagaimana para jenderal ini disiksa di Lubang Buaya, dikubur hidup-hidup, hingga akhirnya meninggal.

Pada bagian lain film ini diceritakan pula bagaimana pemerintah menumpas G30S PKI. Ini link-nya.

2. Soe Hok Gie

Film ini tidak menggambarkan detail tentang G30S PKI. Cerita tentang G30S PKI dalam film ini hanya dibahas sekilas ketika salah seorang temannya Gie bergabung dengan PKI.

Dikutip dari Wikipedia, Gie (2005) adalah sebuah film biopik garapan sutradara Riri Riza. Gie mengisahkan seorang tokoh bernama Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia yang lebih dikenal sebagai demonstran dan pecinta alam.

Film ini diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Gie sendiri, tetapi ditambahkan beberapa tokoh fiktif agar ceritanya lebih dramatis.

Baca Juga: BANSOS PKH Tahap 4 Cair di Oktober, Dapatkan Dana Bansos PKH Hingga Rp3 Juta, Begini Cara Cek Penerimanya

Menurut Riri Riza, hingga Desember 2005, 350.000 orang telah menonton film ini.

Pada Festival Film Indonesia 2005, Gie memenangkan tiga penghargaan, masing-masing dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik (Nicholas Saputra), dan Penata Sinematografi Terbaik (Yudi Datau).

3. Jagal

Jagal atau The Act of Killing merupakan film dokumenter mengambil sudut pandang pelaku pembantaian. Film yang meraih banyak penghargaan tersebut, menceritakan sisi lain dari G30S PKI.

Film ini mengambil setting peristiwa yang terjadi setelah G30S PKI. Bagaimana orang yang dituduh PKI ditertibkan, diamankan, bahkan ada yang dibunuh oleh orang yang disebut Jagal.

Tokoh utama The Act of Killing adalah Anwar Congo, seorang preman muda di tahun 1960an, yang bekerja sebagai pencatut karcis bioskop di kota Medan, Sumatera Utara.

Dia dan teman-teman satu komplotannya merupakan para penggemar film-film Hollywood, yang bergaya seperti James Dean, dan bahkan sempat mengorganisir suatu kelompok penggemar aktor tersebut.

Baca Juga: Jung Ho Yeon Pemeran Kang Sae Byeok, Ungkap Adegan Squid Game yang Paling Menakutkan Untuk Difilmkan

Saat Partai Komunis Indonesia menyerukan boikot terhadap film-film Amerika maka pendapatan Anwar Congo dan teman-temannya langsung menurun drastis.

Hal ini yang kemudian memicu kebencian mereka dan preman-preman lainnya terhadap kaum komunis. Ini link-nya.

4. Senyap

Senyap (The Look of Silence), diproduksi setelah film Jagal. Jika Jagal mengambil sudut pandang pelaku pembantaian, Senyap yang rilis November 2014, mengambil perspektif penyintas dan keluarga korban.

Senyap yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan Film The Look of Silence adalah film dokumenter kedua karya sutradara berkebangsaan Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer dengan tema sentral pembantaian massal 1965 setelah film Jagal.

Senyap menyoroti kisah Adi, seorang penyintas dan keluarga korban yang menghadapi kenyataan ketika dirinya dan keluarganya dituduh sebagai bagian dari PKI.

Walaupun tema sentralnya sama, film ini berbeda dengan film Jagal yang menyoroti sisi pelaku pembantaian.

Film Senyap pertama kali diputar di Indonesia pada 10 Desember 2014 secara serentak di berbagai kota, sebagai bagian dari peringatan Hari HAM Sedunia.

Seperti film pendahulunya, Jagal, film Senyap juga masuk nominasi Oscar untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik. Film Senyap adalah film produksi Indonesia pertama yang masuk dalam nominasi Oscar.

Pengambilan gambar dilakukan di Sumatera Utara bersamaan dengan pembuatan Jagal. Sebagian besar gambar diambil antara 2010 sampai 2012.

Pemutaran perdana internasional diselenggarakan di Venice International Film Festival pada bulan Agustus 2014, sekaligus berkompetisi memperebutkan Golden Lion.

Pemutaran perdana dan peluncuran film Senyap di Indonesia diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Dewan Kesenian Jakarta pada 10 November 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Mulai 10 Desember 2014 film Senyap diputar serentak di berbagai kota di Indonesia dalam rangka memperingati hari HAM sedunia.

"Film Senyap, saya harap, menjadi sebuah puisi tentang kesenyapan yang lahir dari teror—sebuah puisi tentang pentingnya memecah kesenyapan itu, tetapi juga tentang trauma yang datang ketika kesenyapan itu dipecahkan," tutur Jushua Oppenheimer.

Meski bergaya film dokumenter, Senyap dan Jagal tetap bisa membawa emosi penonton. Lewat cerita kekejian di masa kelam Indonesia dulu, penonton diajak untuk melihat cerita lebih utuh.

Bagaimana orangtua kehilangan anaknya, kakak kehilangan adiknya, anak kehilangan ayah atau ibunya, dan bagaimana pembunuhan besar-besaran yang terjadi di masa itu digambarkan dalam film itu.***

Editor: Susan Rinjani

Tags

Terkini

Terpopuler