Meningkatnya Kerusuhan dan Kekerasan di Papua Barat, Menjadi Sebab Benny Wenda Deklarasikan Merdeka

2 Desember 2020, 17:14 WIB
Salah satu warga Papua Barat /

CerdikIndonesia – Benny Wenda mendeklarasikan Pemerintahan sementara Papua Barat, pada Selasa, 1 Desember 2020, ia didapuk sebagai Presiden Sementara Papua Barat Merdeka.

Benny Wenda mengatakan dengan pembentukan pemerintah sementara Papua Barat ini, mereka tidak akan tunduk lagi kepada Indonesia.

Baca Juga: Benny Wenda Deklarasi Kemerdekaan, ULMWP Klaim Didukung Seluruh Kelompok Pembebasan Papua Barat

 

“Kami tidak mematuhi aturan dan hukum Indonesia yang diberlakukan kepada kami,” ujar Benny Wenda.

Deklarasi tersebut muncul ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan meningkatnya kekerasan di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam beberapa pekan dan bulan terakhir.

 

Dalam pernyataan pada 30 November 2020 lalu, Juru Bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB, Ravina Shamdasani, mengatakan dia “terganggu” dengan meningkatnya kekerasan.

Bersama dengan laporan bahwa milisi bersenjata maupun tentara secara aktif terlibat dalam kekerasan di Papua.

Baca Juga: Benny Wenda Deklarasi Pemerintahan Sementara Papua Barat, Awal Menuju Kemerdekaan Papua Barat?

 

Dalam satu insiden pada 22 November 2020, dia mengatakan anak berusia 17 tahun ditembak hingga meninggal dan satu terluka dalam baku tembak di Distrik Gome, Papua Barat.

Pada bulan September dan Oktober, terdapat serangkaian pembunuhan yang mengerikan, setidaknya enam orang, termasuk aktivis, pendeta, dan penduduk non-pribumi meninggal, pembunuhan tersebut melibatkan setidaknya dua anggota keamanan.

Baca Juga: Informasi Intelijen Menyebutkan, Kelompok MIT Pimpinan Ali Kalora Sudah Terdesak

 

Penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan seorang pelayan gereja, Pendeta Yerimia Zanambani, Pendeta dari Gereja Injili Protestan, telah dibunuh oleh pasukan keamanan Indonesia.

Pembunuhan tersebut hanyalah salah satu dari serangkaian kekerasan yang terjadi di Papua dan Papua Barat sepanjang tahun ini.

Baca Juga: Tragis, Pengelola Wisata di Aceh Tengah Tewas Dikeroyok di Depan Istri dan Anaknya

 

PBB juga telah menerima laporan setidaknya 84 penangkapan, termasuk Wensislaus Fatuban, pembela hak asasi manusia dan penasehat Majelis Rakyat Papua (MRP).

Dia juga menyebutkan ada eskalasi yang lebih besar pada Agustus 2019, ketika protes anti-rasisme dan kekerasan pecah di Papua, menyusul penahanan dan perlakuan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua di Jawa.

 

“Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hak-hak masyarakat atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai sejalan dengan kewajiban internasionalnya, terutama menjelang 1 Desember, ketika sering terjadi protes, ketegangan dan penangkapan,” kata Shamdasani.

Baca Juga: Jokowi Akan Rombak Kabinet, Prabowo Jadi Sasarannya?

 

Shamdani meminta pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan menyeluruh, independen, dan tidak memihak atas semua tindakan kekerasan, khususnya pembunuhan.

Dan untuk semua pelaku, terlepas dari afiliasi mereka untuk dimintai pertanggungjawaban.***

Editor: Arjuna

Sumber: SBS News

Tags

Terkini

Terpopuler