Bahaya! Menurut Pengamat Politik, Rawan Konflik Jika Belum Ada Peraturan Kampanye Pemilu di Media Sosial

- 28 Juli 2022, 20:25 WIB
Ilustrasi perang Rusia Ukraina, Inggris tuding rusia rekrut
Ilustrasi perang Rusia Ukraina, Inggris tuding rusia rekrut /Pixabay/TheDigitalArtist/

CERDIK INDONESIA - Tahapan Pemilu 2004 telah dimulai, sejumlah tokoh politik telah bermunculan di media sosial.

Tokoh politik tersebut muncul di media sosial itu biasanya diusung oleh partai pendukungnya, atau oleh para pendukungnya.

Baca Juga: Menuju Pesta Demokrasi: Inilah Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024!

Namun terkait munculnya para tokoh tersebut belum termasuk kepada indikator kampanye, tetapi disinyalir mengarah kepada pembangunan citra tokoh tersebut.

Terkait hal tersebut, belum ada aturan baku yang mengatur tentang kampanye di media sosial yang dapat mengakibtkan konflik.

Hal ini mendapat tanggapan dari Bismar Arianto seorang pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Bismar berpendapat jika kampanye di media sosial akan rawan terhadap konflik politik akibat dari perbedaan kepentingan.

"Bawaslu perlu membuat peraturan khusus yang mengatur soal kampanye di medsos untuk mencegah atau meminimalisir konflik tersebut. Peraturan itu juga sebagai upaya menutup ruang abu-abu dalam penegakan aturan," ujar Bismar.

Bismar melihat sampai saat ini belum ada peraturan dari Bawaslu yang kuat untuk mengawasi dan menjangkau sistem kampanye di media sosial.

Dalam menjelang Pemilu dan Pilkada 2024, hal ini penting untuk dijawab karena menjadi tantangan dan ancaman yang perlu dihadapi.

Ketika melihat realita pada kontestasi Pemilu dan Pilpres 2019 pun demikian, bahwa adanya sebuah polarisasi media.

Jika hal demikian terjadi, akan membuat masyarakat terpecah belah hanya karena perbedaan sikap politik saja.

Baca Juga: Pemilu Serentak Akan DIlakukan Tahun 2024: Ada 6 Parpol Konfirmasi Telah Daftar Pemilu

Di era digitalisasi ini, para kontestan pemilu dan pilkada kemungkinan besar akan memanfaatkan media sosial sebagai alat/sarana kampanye untuk mendapatkan suara pemilih.

Berdasarkan hasil penelitian, menyebutkan bahwa jika kampanye di media sosial cukup berpengaruh dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan kampanye konvensional.

Secara masif media sosial akan digunakan oleh pengurus parpol, kandidat presiden, caleg, dan peserta pilkada untuk mensosialisasikan diri dan wacana programnya.

Sebagian penelitian yang dilakukan oleh akademisi, menemukan bukti bahwa untuk membangun citra dan menjatuhkan lawan politiknya, para peserta pemilu dan pilkada mengerahkan buzzer.

Untuk pemenangan kandidat tertentu buzzer akan mengendalikan media sosial sepenuhnya dan kerap kali menuai komentar panas dan kritik pedas.

Bahkan kondisi seperti ini berpotensi menimbulkan konflik politik hingga di dunia nyata.

"Hasil penelitian ditemukan pengaruh negatif dari aksi para buzzer di tengah masyarakat, seperti terbentuk faksi atau kelompok tertentu. Bahkan aksi itu menimbulkan permusuhan dan persaingan tidak sehat," ujar Bismar.

"Padahal pemilu dan pilkada bertujuan melahirkan pemimpin yang berkualitas," ujar Bismar dikutip Pikiran-Rakyat.com dari laman Antara pada 23 Juni 2022.

Maka dari itu ruang gerak para buzzer perlu dibatasi dengan peraturan yang mengatur kampanye di media sosial.

Agar bisa menjawab permasalahan dari hilir ke hulu untuk menciptakan pemilu dan pilkada yang kondusif.

"Unsur lainnya yang perlu disiapkan adalah sumber daya manusia yang ahli di bidang IT dan juga peralatan pendukung," tutupnya.***

 

 

Editor: Yuan Ifdal Khoir

Sumber: Pikiran Rakyat ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah